Fakultas Hukum

Fakultas Hukum Universitas Nasional

BeritaGaleriPengumumanPeraturanPublikasi

HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT TIDAK BERWENANG MEMUTUS PERKARA PENUNDAAN PEMILU TAHUN 2024

Beberapa hari belakangan masyarakat Indonesia dihebohkan dengan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dalam amar putusannya menunda tahapan pemilu tahun 2024. Putusan dengan Nomor : 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang dibacakan pada hari Rabu, 1 maret 2023. Kasus tersebut adalah perkara perdata antara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) MELAWAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) akibat tidak lolosnya Partai PRIMA sebagai peserta pemilu tahun 2024. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam amar putusan yang keempat memutus “menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari“.  Dengan putusan hakim tersebut maka dengan otomatis menunda pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024. Akibat putusan Hakim ini kemudian menimbulkan kehebohan masyarakat Indonesia, baik masyarakat yang awam hukum, politisi, akademisi, pemerhati hukum dan bahkan pejabat politik berkaitan dengan kewenangan hakim dalam mengadili perkara pemilihan umum. apakah hakim Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara pemilihan umum?

Masidin, SH., MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional berpendapat bahwa Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memutus perkara penundaan pemilihan umum tahun 2024. Dalam ketentuan Undang-undang sengketa pemilihan umum dilakukan oleh beberapa lembaga yaitu Badan Pengawas Pemilihan, Pengadilan Tata Usaha Negara, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan Mahkamah Konstitusi. Badan Pengawas Pemilihan Umum sesuai Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berwenang menyelesaiakan sengketa proses pemilihan umum, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berwenang menyelesaikan sengketa tata usaha negara, Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum dan penyelesaian sengketa kode etik oleh pelaksana pemilihan umum dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Pasal 95 huruf d UU 7/2017 menentukan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum berwenang menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sengketa Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa yang timbul dalam bidang  tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan  Badan atau Pebajat Tata Usaha Negara,  baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus Partai PRIMA sengketa tata usaha negara ini sebagai akibat tidak lolosnya sebagai peserta pemilu yang didasarkan pada ketentuan Pasal 173 UU 7/2017 tentang penetapan peserta pemilu. Sedangkan Pasal 159 ayat (2) huruf c dan d UU 7/2017 mengatur bahwa DKPP berwenang memberikan sanksi kepada Penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik, dan memutus pelanggaran kode etik pemilu. Kemudian Pasal 474 UU 7/2017 mengatur bahwa penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum dilaksanakan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana juga sesuai dengan amanah Pasal 24 C ayat (1) Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa sesuai Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam pasal 50 Undang-undang Nomro 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum mengatur bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Dengan ketentuan tersebut maka kewenangan Hakim Pengadilan Negeri hanya memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata dan tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara diluar kewenangannya. Kemudian ditegaskan bahwa pemilihan umum serentak sesuai dengan  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dilaksanakan pada tahun 2024, dengan demikian Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang terpisah (tidak serentak) dengan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak sejalan dengan prinsip konstitusi.

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 jo. Pasal 22E UUD-NRI Tahun 1945. Pasal 7 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan, kemudian Pasal 22E ayat (1) menegaskan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara diluar kewenangannya Komisi Yudisial sesuai dengan kewenangannya layak untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim tersebut.

Lebih lanjut Masidin juga mendukung Komisi Pemilihan Umum yang akan mengajukan banding atas Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat guna mengembalikan pelaksanaan pemilihan umum sesuai dengan amanah konstitusi dan demokrasi di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *