Perjanjian atau overeenkomst merupakan suatu peristiwa hukum di mana seseorang berjanji kepada pihak lain, atau di mana dua pihak saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal. Pengertian ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu tindakan di mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu pihak lain atau lebih. Pada dasarnya, pembentukan suatu perjanjian tidak selalu mensyaratkan bentuk tertulis (kontrak) maupun lisan (verbal), selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, ketertiban umum, dan nilai-nilai moral. Selain itu, perjanjian sebaiknya juga dilandasi oleh asas kekeluargaan, rasa saling percaya, keharmonisan, serta nilai-nilai kemanusiaan. Menurut pendapat R. Subekti, perjanjian adalah suatu rangkaian ucapan yang mengandung janji atau kesanggupan, yang kemudian dituangkan secara tertulis dalam bentuk kontrak dan Menurut  Salim  H.S, arti     dari     perjanjian     dalam     hukum     yaitu mengatur  mengenai   keseluruhan   atara  pihak-pihak  yang  saling  berhubungan,  yang  kemudian keinginan  para  pihak  dituangkan  secara  tertulis dalam dokumen supaya yang menjadi tujuannya dapat    tercapai.

Salah satu unsur yang diperlukan dalam melakukan perjanjian yang dibuat di Indonesia adalah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa perjanjian. Secara tegas penggunaan Bahasa Indonesia khususnya dalam kontrak asing dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lembaga Negara serta lagu kebangsaan, yang telah menimbulkan banyak persoalan, khususnya di kalangan dunia usaha, terkait dengan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, khususnya dalam hal perjanjian, padahal tujuan yang diembannya adalah untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pasal 26 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 yang mengatur tentang Penggunaan Bahasa Indonesia menegaskan kembali kewajiban berbahasa Indonesia. Namun, Undang-undang ini tidak memberikan akibat hukum bagi perjanjian yang menggunakan Bahasa selain Bahasa Indonesia. Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian antara pihak Indonesia dengan pihak asing diatur kembali melalui

Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia Pada tanggal 30 September 2019. Mengacu pada aturan tersebut, bahasa memegang peranan yang krusial dan strategis. Salah satu fungsi utama bahasa ialah sebagai skema lambang bunyi yang konvensional, dan bermakna (yang dihasilkan oleh organ vokal) yang digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi dan mengungkapkan pikiran serta perasaan mereka. Dilihat dari

bentuknya pengertian bahasa dibedakan atas 2 (dua) bentuk:

  1. Sebagai alat untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, serta sebagai alat untuk membentuk pikiran, perasaan, dan keinginan menjadi tindakan;
  2. Sebagai indikasi yang jelas tentang karakter seseorang, keluarganya, negaranya, atau moralitasnya;

Menurut pendapat ahli yaitu Peter Mahmud, kepastian hukum berikut akan dihasilkan dari adanya peraturan-peraturan tersebut dan penerapannya: ”Kepastian hukum dapat diartikan sebagai dua hal: pertama, adanya aturan-aturan umum yang membuat masyarakat tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan; dan kedua, perlindungan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pemerintah, karena aturan-aturan umum membuat masyarakat tahu apa yang dapat dilakukan negara terhadap mereka”.

Sedangkan menurut pendapat ahli lain Gustav Radbruch bahwa salah satu tujuan hukum adalah kepastian bukanlah pendapat yang keliru. Pendapat tersebut memiliki kaitan erat dengan kepastian hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat. Kepastian hukum sejalan dengan sifat normatif baik undang-undang maupun putusan pengadilan. Istilah “kepastian hukum” menggambarkan penerapan tatanan kehidupan yang tidak terpengaruh oleh kondisi subjektif kehidupan bermasyarakat dan yang jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen. Menurut Gustav Radbruch, hukum harus memiliki tiga nilai identitas berikut:

  1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), yang ditinjau dari sudut pandang hukum.
  2. Asas keadilan hukum (gerechtigheit), yang ditinjau dari sudut pandang filosofis dan beranggapan bahwa keadilan adalah hak yang sama bagi setiap orang di muka pengadilan.
  3. Asas kemanfaatan, doelmatigheid, atau kemanfaatan hukum (zwechmatigheid)

Asas Kebebasan berkontrak, yang juga dikenal sebagai asas otonomi, memungkinkan individu untuk membuat perjanjian yang mereka pilih dengan tetap mematuhi batasan-batasan hukum. Setelah perjanjian dibuat, para pihak terikat oleh perjanjian tersebut. Hal ini sejalan dengan dasar old Testament, yang dihormati oleh umat Kristen dan Yahudi, menyatakan bahwa jika seseorang membuat komitmen kepada Tuhan atau bersumpah untuk memenuhi suatu kewajiban, mereka tidak boleh mengingkari janjinya dan harus menepati janji.

Kontrak atau perjanjian didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih oleh Black’s Law Dictionary. Kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu ditetapkan oleh perjanjian ini. Menurut Black’s Law Dictionary, kontrak adalah perjanjian antara dua pihak untuk melaksanakan suatu kewajiban, baik seluruhnya maupun sebagian. Perjanjian-perjanjian ini, yang dikenal sebagai kontrak, memiliki konsekuensi hukum yang mengikat kedua belah pihak (partijen, contract-tanten). Definisi dari perjanjian adalah yang mencirikan keberadaan dua pihak yang mengikatkan diri satu sama lain, dijelaskan secara lugas dalam aturan ini. Jelaslah bahwa satu pihak memiliki kewajiban terhadap pihak lain.

Perjanjian terjadi ketika dua pihak saling mengikatkan diri atau ketika satu pihak menjanjikan sesuatu kepada pihak lain. Kesepakatan yang terbentuk antara dua pihak sebagai akibat dari suatu kejadian disebut perjanjian. Perjanjian digunakan untuk menyampaikan pengertian kedua belah pihak. Suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat berikut ini agar dianggap sah:

  1. Persetujuan kedua belah pihak didasarkan pada kemauan masingmasing, artinya tidak ada penipuan, paksaan, atau kekeliruan pada saat perjanjian itu dibuat.
  2. Kedua belah pihak harus memiliki kecakapan untuk bertindak apabila syarat ini tidak terpenuhi, hakim dapat memutuskan perjanjian itu.
  3. Objek tertentu; jumlah, jenis, dan bentuk.
  4. Adanya sebab yang halal, yaitu perjanjian tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang sah dan tidak dilarang oleh undang-undang atau peraturan yang bertentangan dengan ketertiban umum.

Jika kedua belah pihak dapat mengikatkan diri secara bebas, maka perjanjian tersebut sah. Perjanjian dapat dibatalkan jika di dalamnya terdapat klausul yang menyebutkan tentang tidak adanya kehendak bebas (wilsgebrek).

Diperlukan nya kajian terhadap satu permasalahan perjanjian internasional yang terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar juncto   Pengadilan Tinggi DKI nomor  :  48/PDT/2014/PT.  DKI  dan juncto Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor : 601 K/Pdt/2015. Perkara ini bermula dari suatu perjanjian pinjaman (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 23 April 2010 antara Nine AM Ltd., yang beralamat di 16031 East Freeway, Channelview, Texas 77530, Amerika Serikat (selanjutnya disebut sebagai Tergugat), dengan PT Bangun Karya Pratama Lestari, berkedudukan di Jakarta Barat, Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Penggugat). Dalam perjanjian tersebut, Tergugat memberikan fasilitas pinjaman kepada Penggugat sebesar USD 4.442.000 (empat juta empat ratus empat puluh dua ribu Dolar Amerika Serikat). Loan Agreement tersebut disusun sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Menurut dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam gugatannya, perjanjian pinjaman dimaksud dibuat dan dipersiapkan secara sepihak oleh Tergugat dalam bahasa Inggris, dan Penggugat hanya diminta untuk menandatangani dokumen tersebut tanpa diberikan versi dalam bahasa Indonesia. Penggugat berpendapat bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam penyusunan Loan Agreement bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan bahwa perjanjian Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 adalah batal demi hukum, atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (null and void / nietig). Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menilai bahwa tidak digunakannya bahasa Indonesia dalam penyusunan Loan Agreement tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

Oleh karena itu, perjanjian tersebut dikualifikasikan sebagai perjanjian yang dibuat atas dasar sebab yang terlarang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1335 jo. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Atas dasar pertimbangan tersebut, Majelis Hakim memutuskan untuk menyatakan bahwa Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 antara Penggugat dan Tergugat adalah batal demi hukum. Putusan tersebut menjadi menarik untuk dikaji karena pengadilan dalam amar dan pertimbangan hukumnya telah menafsirkan ketentuan sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya terkait unsur sebab yang halal. Dalam hal ini, pengadilan menilai bahwa penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian internasional yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum positif, yang menyebabkan perjanjian tersebut dianggap tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dengan demikian, suatu perjanjian internasional yang dibuat secara perorangan namun tidak menggunakan bahasa Indonesia dipandang sebagai perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

Penafsiran tersebut telah menempatkan penggunaan bahasa asing dalam kontrak internasional sebagai bentuk sebab yang dilarang menurut hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Berdasarkan putusan-putusan pengadilan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional yang dibuat oleh subjek hukum perorangan tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat dinyatakan batal demi hukum karena dianggap tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian mengenai sebab yang halal atau karena mengandung sebab yang dilarang oleh undang-undang. Namun demikian, sebaiknya dilakukan upaya persandingan (dualisme bahasa) dalam penyusunan kontrak internasional, yaitu dengan mencantumkan versi dalam bahasa Indonesia di samping bahasa asing (misalnya bahasa Inggris), agar kontrak tersebut tidak serta merta dinyatakan batal demi hukum sebagaimana dalam putusan dimaksud. Ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 telah dengan tegas memuat norma kewajiban penggunaan bahasa Indonesia. Frasa “wajib” dalam konteks hukum menunjukkan suatu perintah yang harus dilaksanakan, dan apabila dilanggar maka dapat menimbulkan konsekuensi hukum. Namun demikian, dalam undang-undang tersebut tidak secara eksplisit ditentukan mengenai bentuk atau jenis sanksi yang dikenakan apabila kewajiban tersebut dilanggar. Dengan menafsirkan Pasal 31 ayat (1) dan (2) secara sistematis dan berkesinambungan, maka perjanjian internasional yang tidak memuat bahasa Indonesia dipandang sebagai mengandung kausa yang terlarang menurut undang-undang, sehingga oleh pengadilan-pengadilan dalam putusannya diposisikan sebagai perjanjian yang batal demi hukum, meskipun ketentuan sanksi secara eksplisit tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut, dan tanpa sanksi administratif atau pidana terhadap para pihak yang membuatnya. Supaya  perjanjian  yang  dibuat  tidak  menjadi batal  demi  hukum,  maka  perjanjian  yang  dibuat antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, selain menggunakan bahasa   inggris   atau   bahasa   asing   lain,   maka menggunakan   juga   bahasa   Indonesia,   hal   ini sesuai  dengan  pasal  26  ayat  2  Perpres  63  tahun 2019 yang menyatakan “setiap perjanjian bisnis yang  melibatkan  pihak  asing  ditulis  juga  dalam bahasa  nasional  pihak  asing  tersebut  dan/atau bahasa  Inggris”. Apabila  dikaji makna  dari  kata “ditulis  juga”,  bisa  ditafsirkan  bahwa  apabila perjanjian ingin dibuat dalam bahasa Inggris atau bahasa  asing  lainnya,  maka  penggunaan  bahasa Indonesia tetap harus dituliskan agar pembuatan perjanjian tetap sah   secara hukum. Sehingga, perjanjian  harus  dibuat,  disetujui  dan  ditanda-tangani   dalam   bentuk   dua   bahasa   (bilingual) pada   naskah   aslinya,   sehingga apabila   ini   dijalankan, maka pembuatan perjanjian menggunakan bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya tetap  sah  sepanjang  perjanjian  tersebut  dibuat juga  dalam  bahasa  Indonesia  juga.  Selanjutnya, penggunaan    dwibahasa    harus    dibuat    sama artinya, Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 31 ayat  (2),  yaitu:  “Dalam  perjanjian  bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia,  bahasa  nasional  negara  lain  tersebut, dan/atau  bahasa  Inggris,  dan  semua  naskah  itu sama aslinya”. Dengan    melihat    Pasal    31    tersebut,    yang mewajibkan  perjanjian  dalam  bahasa  Indonesia maupun   bahasa   asing   haruslah   sama,   penting untuk  tidak  sembarangan  dalam  penerjemahan perjanjian,  misalnya  supaya  sesuai  makna  sama dan  terjamin,  dapat  menggunakan  jasa  seorang penerjemah  resmi  atau  penerjemah  tersumpah (sworn translator).   Penerjemah   resmi   mampu menerjemahkan  isi  dari  perjanjian  dalam bahasa Indonesia  dan  bahasa  Inggris  atau  bahasa  asing lainnya   tanpa   mengubah   isi   dari   perjanjian. Tindakan ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan Undang-undang    Nomor 24 Tahun 2009 sehingga perjanjian  dapat  mengikat  secara sah dan memiliki   kekuatan hukum menurut hukum Indonesia bagi  para pihak dalam perjanjian

| Pameran Photography Lainnya

WhatsApp Image 2025-11-04 at 14.13
JUDICIAL REVIEW MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NASIONAL TERHADAP DUALISME PEMAHAMAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM NOTA KESEPAHAMAN DENGAN PIHAK ASING
Pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2025, Fakultas Hukum Universitas Nasional melakukan judicial review...
Read More
WhatsApp Image 2025-11-04 at 14.13
PERJANJIAN 2 BAHASA
Perjanjian atau overeenkomst merupakan suatu peristiwa hukum di mana seseorang berjanji kepada...
Read More
WhatsApp Image 2025-09-25 at 01.18
WEBINAR SOSIALISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KUHP
Pada hari Jumat, 26 September 2025, pukul 14.00 WIB, telah diselenggarakan Webinar Sosialisasi Undang-Undang...
Read More