Hukum Ketenagakerjaan, umumnya hukum ketenagakerjaan didefinisikan sebagai sekumpulan aturan yang mengatur mengenai hubungan antara pekerja dengan si pemberi kerja atau majikan atau Perusahaan si pemberi kerja serta hubungan dengan pemerintah. Molenaar dengan pendapatnya mengatakan bahwa hukum ketenagakerjaan merupakan Sebagian dari hukum yang berlaku yang mengatur hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha. Menurut pendapat ahli lain yaitu Mr. N.E.H. Van Esveld, hukum ketenagakerjaan tidak hanya tentang hubungan kerja di mana pekerja memiliki posisi yang berada di bawah pimpinan,melainkan meliputi juga pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang melakukannya atas tanggung jawab resiko tersendiri.
Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang hak-hak pekerja, Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak tenaga kerja dan menjamin kesejahteraan energi kerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan global perjuangan. Pembangunan ketenagakerjaan dilandasi dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur mengenai hak-hak dasar pekerja yang terdiri dari hak atas pekerjaan, hak atas upah yang adil, hak untuk bersetikat dan berkumpul. Dapat dipahami bahwa tujuan dari adanya hukum ketenagakerjaan adalah untuk mencapai suatu keadialn sosial dalam lingkup ketenagakerjaan dan melindungi para pekerja dari kekuasaan tidak terbatas oleh pengusaha. Soepomo mengklasifikasikan 3 (tiga) jenis perlindungan yang diberikan kepada para pekerja melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
A. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya;
B. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi;
C. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.

Perjanjian kerja sendiri terbagi menjadi 2 (dua) yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tak tentu (PKWTT). PKWTT merupakan sebuah hubungan kerja yang mana didasarkan pada sebuah perjanjian dengan masa kerja yang dibatasi sampai waktu-waktu tertentu, sedangkan PKWTT merupakan hubungan kerja tanpa batas waktu tertentu atau lebih sering disebut dengan sebutan pegawai tetap, terdapat beberapa perbedaan di antara kedua jenis perjanjian kerja tersebut di anatarnya:
A. PKWT mempunyai batas waktu pekerjaan yang sudah diatur di dalam perjanjian, sedangkan PKWTT tidak mempunyai batas waktu untuk pekerjanya selama belum memasuki usia pension
B. Apabila dalam PKWT terjadi PHK tidak harus melalui Lembaga Perselisihan Hubungan Kerja telebih dahulu, sedangkan apabila terjadi PHK dengan alasan tertentu harus melalui Lembaga Perselisihan Hubungan Kerja terlebih dahulu
C. Dalam PKWT tidak boleh ada masa percobaan, sedangkan dalam PKWTT hal tersebut diperbolehkan
D. PKWT harus dibuat dalam bentuk tertulis menggunakan huruf latin dan Bahasa Indonesia, sedangkan dalam PKWTT perjanjian kerja dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Apabila diperhatikan memang terdapat sebuah perbedaan signifikan antara dua jenis perjanjian kerja tersebut, dan melalui perbedaan tersebut dapat dipahami bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu (PKWTT) memberikan sebuah pekerjaan yang lebih terjamin hak-haknya oleh hukum. Namun apabila dilihat dari aspek upah atau bayaran antara PKWT dan PKWTT tidak mempunyai perbedaan di mana baik pekerja PKWT maupun PKWTT berhak untuk mendapatkan penghasilan atau upah yang dapat memenuhi penghidupan yang layak bagi seorang pekerja. Hal ini sudah diatur di dalam Pasal 88 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terdiri dari upah minimum, upah lemur, upah tidak masuk kerja karena halangan tertentu, denda, potongan, skala pengupahan operasional, dan upah untuk pembayaran pesangon.
Seperti yang terjadi pada saat aksi unjuk rasa para pekerja ojek online (ojol) yang terjadi karena ketidakadilan yang mereka harus dapatkan. Perkembangan teknologi digital telah melahirkan fenomena ekonomi berbasis platform yang mengubah pola hubungan kerja konvensional. Di Indonesia, munculnya layanan transportasi daring seperti Gojek, Grab, dan lainnya menjadikan pengemudi ojek online (ojol) sebagai tulang punggung sistem logistik dan mobilitas masyarakat urban. Namun, status para pengemudi yang selama ini dikategorikan sebagai “mitra” oleh perusahaan aplikasi memunculkan ketimpangan dan ketidakpastian hukum. Para pengemudi tidak memperoleh perlindungan dasar ketenagakerjaan seperti upah minimum, jaminan sosial, perlindungan kecelakaan kerja, maupun kepastian status kerja, yang seharusnya menjadi hak pekerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kondisi tersebut memuncak pada demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 20 Mei 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Aksi ini diorganisir oleh Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) dan diikuti lebih dari 25.000 pengemudi dari berbagai daerah. Mereka membawa sembilan tuntutan utama, termasuk penghapusan potongan aplikator yang dianggap eksploitatif (mencapai 70%), penghapusan sistem prioritas diskriminatif seperti skema “slot” dan “aceng”, serta penolakan terhadap merger Gojek-Grab yang dikhawatirkan memperkuat monopoli dan memperlemah posisi tawar pengemudi. Selain itu, para pengemudi juga menuntut penetapan tarif layanan oleh negara, bukan sepenuhnya berdasarkan algoritma aplikasi. Demonstrasi ini menjadi bentuk nyata dari ketidakpuasan terhadap sistem ketenagakerjaan digital yang dianggap tidak manusiawi dan melanggar asas keadilan sosial.
Situasi tersebut telah menimbulkan diskursus publik dan perhatian legislatif. Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyatakan bahwa perlunya DPR mendorong lahirnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Digital guna mengakui dan melindungi hak-hak pengemudi sebagai pekerja formal. Mahkamah Agung dalam sejumlah putusannya juga mengindikasikan bahwa hubungan kerja tetap dapat diakui dalam skema kemitraan apabila terpenuhi unsur upah, pekerjaan, dan perintah. Namun, hingga kini belum ada regulasi yang secara tegas dan menyeluruh mengatur perlindungan bagi pekerja di sektor ekonomi digital.
Isu yang sedang hangat mengenai ketenagakerjaan sendiri merupakan keambiguan antara perbedaan hubungan kemitraan dan hubungan pekerja dengan pemberi kerja. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan pekerja dengan pemberi kerja merupakan hubungan subordinate yaitu hubungan antara atasan dan bawahan yang mana bawahan wajib untuk menuruti perintah atasan sedangkan atasan wajib memenuhi hak-hak bawahannya sebagai seorang pekerja. Sedangkan hubungan kemitraan sendiri merupakan sebuah bentuk kerja sama yang tidak diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun diatur dalam KUH Perdata tentang perjanjian. Hubungan kemitraan merupakan hubungan antar pihak yang mempunyai kedudukan setara dan dapat secara bebas menjalan usaha masing-masing. Dalam hubungan kemitraan tidak tidak terdapat hak-hak normative seperti THR, cuti, pesangon, dan jaminan sosial seperti BPJS ketenagakerjaan. Keambiguan antara perbedaan hubungan kemitraan dan Hubungan pekerja dengan pemberi kerja kerap kali menimbulkan sebuah permasalahan yang berujung terjadinya sengketa hubungan kerja antar pihak.
Pemerintah Indonesia, khususnya lembaga legislatif, perlu segera mengisi kekosongan hukum dengan membentuk Undang-Undang khusus yang mengatur perjanjian kerja yang berisfat kemitraan antara penyedia aplikasi ojek online dengan mitra pengemudi ojek online. Regulasi ini akan dapat memberikan landasan hukum yang jelas bagi pemberi kerja maupun pekerja yang sifatnya adalah kemitraan, sehingga mencegah timbulnya permasalahan di masa depan akibat ketiadaan payung hukum atau landasan hukum yang jelas dan pasti.