PAILIT & KEPAILITAN
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sementara, itu pailit merupakan suatu keadaan berhenti membayar dari Debitur terhadap utang-utangnya kepada para krediturnya, yang umumnya disebabkan karena Debitur mengalami kesulitan kondisi keuangan (financial distress) sebagai akibat dari usaha Debitur yang mengalami kemunduran.

Sederhananya, dapat didefinisikan bahwa pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang kepada krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar ini disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan dari usaha debitur yang mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan dari keadaan pailit yang dimana mengakibatkan adanya penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitur, baik yang telah ada atau yang akan ada di kemudian hari.
Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan debitur dalam menjalankan usahanya sehingga tidak mampu untuk melunasi hutangnya. Kepailitan merupakan jalan keluar yang bersifat komersial dari persoalan utang piutang yang dapat menghimpit debitur, yang dimana debitur sudah tidak mampu lagi untuk membayar kewajibanya dan telah jatuh tempo. Maka dari itu, haruslah ditelusuri lebih dulu guna mengumpulkan bukti bahwa debitur memang sudah tidak mampu lagi untuk membayar utangnya pada kreditur.
Peter J.M. Declercq menyatakan bahwa kepailitan tersebut sebenarnya lebih ditujukan kepada Debitur yang berhenti membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Berhenti membayarnya Debitur tersebut tidak perlu diklasifikasikan bahwa apakah sungguh-sungguh tidak mampu untuk melakukan pembayaran utangnya ataukah karena Debitur tidak mau membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu. Declercq menyatakan bahwa “A bankruptcy petition has to state facts and circumstances that constitute prima facie evidence that the debtor has ceased to pay its debts. This is considered to be the case if there are at least two creditors, one of who, has a claim whis is due and payable and which the debtor cannot pay, refuses to pay, or simply does not pay”. Pernyataan ini jika diartikan kedalam bahasa Indonesia yaitu “Permohonan kepailitan harus menyatakan fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang merupakan bukti utama bahwa Debitur telah berhenti membayar hutangnya. Hal ini dianggap sebagai kasus apabila sekurang-kurangnya dua kreditor, yang salah satunya memiliki tagihan jatuh tempo dan wajib dibayar serta Debitur tidak dapat membayarnya, menolak membayar atau hanya dengan tidak membayar saja”.
Dalam menentukan dan mengajukan apakah perusahaan itu mengalami kepailitan atau pailit, terdapat syarat yang termuat dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yaitu:
- Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditur.
- Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
Selain itu pihak yang dapat mengajukan pailit adalah debitur itu sendiri, kreditor, kejaksaan apabila menyangkut kepentingan umum. Apabila debitur itu adalah Bank, maka yang dapat mengajukan pailit hanya Bank Indonesia. Jika Debitur adalah perusahaan bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan ataupun lembaga penyelesaian, maka yang dapat mengajukan hanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengganti dari pengawas modal, dan terakhir apabila debitur adalah perusahaan asuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di kepentingan public maka yang dapat mengajukan hanya menteri keuangan.
Proses perkara kepailitan berdasarkan pasal 1 angka 7 Undang – Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, proses penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dilakukan melalui Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Prosedur pengajuan perkara kepailitan dijelaskan dalam artikel berjudul “Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit pada Pengadilan Niaga”. Terkait dengan kewenangan pengadilan dalam memutus perkara kepailitan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Debitur dan Kreditur, yaitu:
- Permohonan pernyataan pailit diproses di Pengadilan yang berlokasi di wilayah tempat kedudukan hukum Debitur.
- Jika Debitur telah meninggalkan Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang adalah yang mencakup wilayah tempat kedudukan hukum terakhir Debitur.
- Jika Debitur merupakan pesero dalam suatu firma, Pengadilan yang berwenang adalah yang mencakup tempat kedudukan hukum firma tersebut.
- Jika Debitur tidak berdomisili di Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usaha di dalam negeri, Pengadilan yang berwenang adalah yang meliputi lokasi atau kantor pusat di mana Debitur menjalankan kegiatannya di Indonesia.
- Jika Debitur berbentuk badan hukum, maka Pengadilan yang berwenang adalah yang mencakup tempat kedudukan hukum sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.
KASUS POSISI DAN ANALISA KASUS

Bahwa Terjadi kepailitan yang dialami oleh PT sritext pada oktober 2024 oleh Pengadilan Niaga Semarang. PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang biasa disebut sebagai PT Sritex merupakan sebuh perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024. Kepailitan PT Sritex ini berawal dari status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang pada Mei 2021. Saat itu, Sritex bersama dengan beberapa anak perusahaannya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, resmi berstatus PKPU setelah adanya permohonan dari kreditur yaitu CV Prima Karya pada 6 Mei 2021. Gugatan PKPU ini dilayangkan oleh CV Prima Karya yang merupakan kontraktor pabrik Sritex beserta anak usahanya selama beberapa tahun terakhir akibat perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan bernegosiasi dengan kreditur untuk mencapai perjanjian damai guna restrukturisasi utang.
Keputusan atas kepailitan PT sritex ini diambil setelah PT Sritex ini digugat oleh PT Indo Bharat Rayon yang menyebutkan bahwa Sritex tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati sebelumnya. Dalam proses PKPU pada tahun 2021 tersebut, Sritex berhasil memperoleh putusan homologasi (perdamaian) dengan para kreditur, yang seharusnya memungkinkan perusahaan melanjutkan operasionalnya dengan skema pembayaran utang yang telah disepakati. Namun, pada tahun 2024, salah satu kreditur, yaitu PT Indo Bharat Rayon, mengajukan permohonan pembatalan perjanjian damai dengan alasan Sritex tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian restrukturisasi utang. Gugatan ini kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang pada hari Rabu, 23 Oktober 2024 dimana pengadilan menilai Sritex lalai memenuhi kewajiban pembayaran utang sesuai perjanjian tersebut.
Menanggapi putusan ini, PT Sritex mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dengan harapan membatalkan status pailit. Namun, pada Desember 2024, MA menolak kasasi tersebut, sehingga status pailit Sritex tetap berlaku. MA memutuskan untuk menolak kasasi tersebut melalui Putusan Nomor 1345 K/Pdt.Sus-Pailit/2024. Akibatnya, kurator ditunjuk untuk menangani proses pemberesan aset Sritex, yang mencakup penjualan aset perusahaan guna melunasi utang kepada para kreditur. Utang yang ditanggung Sritex mencapai sekitar Rp 25 triliun. Jika dirinci, utang tersebut terdiri dari utang jangka pendek sebesar 131,41 juta dollar AS, utang jangka panjang 1,46 miliar dollar AS dan utang obligasi sebesar 375 juta dollar AS. sementara total aset perusahaan diperkirakan bernilai sekitar 617 juta dolar AS yang mengalami penurunan dibandingkan US$ 648 juta pada tahun 2023 dan US$ 764,55 juta pada tahun 2022.

Dengan perbandingan tersebut, jumlah aset yang dimiliki Sritex jauh lebih kecil dibandingkan total kewajiban hutangnya. Artinya, meskipun seluruh aset Sritex dijual, hasilnya masih belum mencukupi untuk melunasi seluruh hutang perusahaan. Selain itu, Sritex juga memiliki utang kepada 27 bank. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa hingga September 2024, outstanding kredit Sritex tercatat sebesar Rp 14,64 triliun, yang terdiri dari pinjaman ke 27 bank sebesar Rp 14,42 triliun dan pinjaman ke 3 perusahaan pembiayaan sebesar Rp 220 miliar.
Situasi ini semakin mempertegas kondisi keuangan Sritex yang kritis, di mana perusahaan tidak memiliki cukup aset untuk menutupi seluruh utangnya. Hal ini turut menjadi faktor utama dalam keputusan Mahkamah Agung (MA) yang tetap menyatakan Sritex dalam status pailit.