HAK ATAS TANAH MENGENAI HAK PAKAI DAN SHGB DARI KASUS SENGKETA LAHAN SMA 1 BANDUNG

Tanah merupakan sumber daya yang memiliki nilai strategis dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pengaturan mengenai hak atas tanah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjadi landasan hukum utama yang mengatur hubungan antara individu atau badan hukum dengan tanah, serta memberikan kepastian hukum terhadap status kepemilikan. Namun, dalam praktiknya, sengketa mengenai hak atas tanah masih sering terjadi, salah satunya berupa pencabutan atau pembatalan sertifikat tanah oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tindakan administratif tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pemegang hak dan berpotensi menimbulkan sengketa yang masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terutama apabila keputusan tersebut dikeluarkan tanpa prosedur dan dasar hukum yang sah.

Mengenai persoalan tanah, adapun hak atas tanah yang sifatnya primer, yaitu ada Hak Milik atas tanah, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai. Contoh yang akan dibahas yaitu Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan (HGB).  Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. SHGB ini juga dapat dijaminkan dan dapat berubah menjadi Hak Milik sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hak Milik disini merupakan hak individual primer yang bersifat perdata, terkuat, dan terpenuh yang bisa dimiliki turun-temurun tanpa ada batas waktu berakhirnya, atas kepemilikan tanah pada kawasan dengan luas tertentu. Sedangkan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah milik negara atau tanah milik orang lain dalam jangka waktu tertentu, dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan. Hal ini termuat dalam Pasal 41 – 44 UUPA. Hak pakai hanya dapat digunakan oleh WNI dan/atau badan hukum Indonesia.

Untuk Pengajuan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) pertama kali yaitu dengan cara :

  1. Menyiapkan dokumen seperti, Fotokopi KTP (WNI) atau akta badan hukum, Surat-surat bukti kepemilikan sebelumnya (sertifikat, girik, surat kavling, pelepasan hak), Surat ukur & gambar situasi, IMB (jika ada bangunan), Surat pernyataan jumlah bidang/luas/status tanah
  2. mengajukan permohonan tertulis yang diajukan kepada Kantor Pertanahan (Kantor BPN Kabupaten/Kota/Provinsi) yang disertai dokumen lengkap dan sudah ditandatangani, setelah itu baru mendapatkan tanda terima beserta nomor registrasi dari BPN
  3. Pemeriksaan kelengkapan data yuridis dan fisik oleh petugas (jika belum ada surat ukur, maka dilakukan pengukuran lapangan)
  4. Pembuatan risalah pemeriksaan tanah
  5. Yang terakhir yaitu penerbitan Keputusan oleh Kepala Kantor BPN yaitu mengeluarkan SK pemberian HGB (atau penolakan dengan alasan tertentu).
  6. .

Sedangkan pengajuan mengenai Hak Pakai yaitu dengan cara :

  1. Mengajukan permohonan formular ke Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan identitas seperti KTP/KITAS/KITAP atau akta badan hukum, Surat keadaan tanah, dan rencana penggunaan tanah, misalnya untuk keperluan usaha atau hunian.
  2. Melakukan Pemeriksaan Kelengkapan & Lapangan oleh petugas Kanwil/Kantor BPN untuk melakukan penelitian formal dan pemeriksaan lapangan, setelah selesai akan dibuat Berita Acara pemeriksaan tanah.
  3. Selanjutnya Panitia menyampaikan rekomendasi kepada pejabat berwenang (Kepala Kantah/Kanwil) untuk Terbitkan SK Pemberian Hak Pakai.
  4. Pemegang SK wajib membayar BPHTB (±5% dari NJOP) dan Uang pemasukan negara dan PNBP BPN sesuai ketentuan.

    Setelah proses pengajuan Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Pakai dilaksanakan dan sertifikat diterbitkan, dalam praktiknya terdapat kondisi tertentu yang dapat menyebabkan hak-hak tersebut dibatalkan atau dihapus. Pembatalan ini umumnya terjadi karena pelanggaran ketentuan hukum, penggunaan tidak sesuai peruntukan, atau sebab-sebab administratif dan teknis lainnya. Oleh karena itu, penting untuk memahami alasan-alasan hukum dan prosedur pembatalan atas Hak Pakai maupun SHGB sebagaimana diatur dalam peraturan pertanahan yang berlaku.

    Namun yang terjadi di SMA 1 Bandung Sengketa resmi dimulai saat PLK mendaftarkan gugatan ke PTUN Bandung pada 4 November 2024 (Perkara No. 164/G/2024/PTUN.BDG)

    PLK menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (sebagai pihak intervensi), dengan mengklaim bahwa mereka merupakan penerus sah dari Het Christelijk Lyceum (HCL), sebuah institusi pendidikan Kristen di masa lalu. PLK menyatakan bahwa lahan seluas 8.450 meter persegi tersebut dulunya berada di bawah hak guna bangunan (SHGB) milik HCL, dan bahwa penerbitan Sertifikat Hak Pakai oleh pemerintah pada 1999 atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dianggap tidak sah secara hukum. Menurut PLK, penerbitan Sertifikat Hak Pakai atas nama pemerintah dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, serta bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik Sehingga PLK menuntut pembatalan Sertifikat Hak Pakai Nomor 11/Kel. Lebak Siliwangi yang diterbitkan pada 19 Agustus 1999 atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandung. Berdasarkan klaim tersebut, PLK meminta dua hal: 

    1. Agar lahan seluas 8.450 meter persegi tersebut dikembalikan kepada mereka, dan
    2. BPN Kota Bandung menerbitkan sertifikat baru atas nama PLK.

    Dalam perkembangan terbaru sengketa lahan di kawasan Lebak Siliwangi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada tanggal 17 April 2025 telah mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan oleh Perkumpulan Lembaga Kebudayaan (PLK). Putusan tersebut membawa dampak besar terhadap status kepemilikan tanah yang selama ini menjadi milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

    Dalam amar putusannya, PTUN Bandung menyatakan bahwa Sertifikat Hak Pakai Nomor 11/Kelurahan Lebak Siliwangi yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dinyatakan batal demi hukum. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung diperintahkan untuk mencabut sertifikat tersebut dan selanjutnya memproses serta menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) baru atas nama PLK, berdasarkan sertifikat lama yang dijadikan dasar klaim oleh pihak penggugat.

    Lebih lanjut, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman kepada tergugat dan tergugat intervensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp440.000 secara tanggung renteng.

    Putusan ini sontak memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk jajaran sekolah yang terdampak, para alumni, hingga pemerintah daerah. Mereka menilai putusan ini memiliki konsekuensi besar terhadap eksistensi dan keberlanjutan pemanfaatan lahan pendidikan yang telah lama dikelola oleh negara.

    Menurut UUPA Pasal 34 huruf b dan Pasal 40 huruf b, Hak Pakai dapat dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir apabila terjadi:

    1. Tidak terpenuhinya kewajiban atau pelanggaran syarat dalam perjanjian;
    2. Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

    Kemudian, Permen ATR/BPN No. 15/2016 mengatur prosedur pembatalan Hak Pakai khususnya pada lahan yang mengalami keadaan luar biasa seperti kebakaran, dan menetapkan aturan administrasi lanjutan bagi BPN. Sedangkan Pembatalan SHGB didasarkan pada PMNA/KBPN No. 9/1999 Pasal 1 angka 14, yaitu pembatalan keputusan pemberian hak atau sertifikat karena ada cacat hukum administratif, atau pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah final. Sementara itu, Pasal 107 PMNA/KBPN No. 9/1999 menjabarkan jenis cacat hukum administratif yaitu Kesalahan prosedur, objek, subjek, luas, data fisik/yuridis, tumpang tindih hak, serta kesalahan administratif lainnya

    Prosedur Umum Pembatalan sertifikat tersebut oleh BPN yaitu dengan cara :

    1. Adanya cacat administratif atau putusan pengadilan sebagai dasar pembatalan.
    2. BPN membentuk Panitia A (termasuk Kanwil/Kantor BPN) untuk meneliti kondisi tersebut
    3. Keputusan Kepala BPN/Kanwil diterbitkan, seperti:
    • Keputusan pembatalan sertifikat/hak atas tanah;
    • Pencatatan dalam buku tanah dan pencabutan sertifikat

    4. Sertifikat dikembalikan (pencabutan fisik) dan dicatat resmi di Kantor Pertanahan

    5. Jika ada putusan pengadilan inkracht, BPN wajib melaksanakannya.

    Sengketa tersebut masuk kedalam kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN tersebut merupakan lembaga peradilan yang memiliki peran penting dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, PTUN berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul akibat tindakan administratif yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Tindakan administratif ini mencakup berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat mempengaruhi hak dan kepentingan masyarakat. Selain itu, PTUN juga berperan sebagai pengawas tindakan pemerintahan, memastikan bahwa semua keputusan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, PTUN tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan transparan

    | Pameran Photography Lainnya

    images
    HAK ATAS TANAH MENGENAI HAK PAKAI DAN SHGB DARI KASUS SENGKETA LAHAN SMA 1 BANDUNG
    Tanah merupakan sumber daya yang memiliki nilai strategis dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya...
    Read More
    049066800_1475472382-20161003-Pengemudi-Ojek-Online-Demo-Tallo-3
    Peran Hukum Ketenagakerjaan dalam Unjuk Rasa Kebangkitan Pekerja Digital
    Hukum Ketenagakerjaan, umumnya hukum ketenagakerjaan didefinisikan sebagai sekumpulan aturan yang mengatur...
    Read More
    WhatsApp Image 2025-07-21 at 13.57
    Fakultas Hukum Universitas Nasional Selenggarakan Penyuluhan dan Konsultansi Hukum, Libatkan Mahasiswa Doktoral dan Dosen Fakultas Hukum
    Jakarta, 19 Juli 2025 – Universitas Nasional (Unas) melalui Fakultas Hukum dan Pusat Bantuan Hukum (PBH)...
    Read More
    Scroll to Top