Pendahuluan:
Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan dengan pencabutan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” milik band punk lokal Sukatani dari seluruh platform musik pada 14 Februari 2025, disertai permintaan maaf kepada kepolisian. Publik menilai ini sebagai bentuk pembungkaman kritik terhadap dugaan praktik pungli oleh oknum apparat dan penghapusan/pembatasan seni, yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pakar Kebijakan Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, menilai tampaknya aparat kepolisian belum memahami esensinya. Menurutnya band Sukatani menciptakan lagu tersebut sebagai bentuk kritik terhadap kinerja kepolisian selama ini. Bahkan hampir seluruh lirik merepresentasikan keresahan publik terhadap oknum-oknum polisi yang melakukan pungutan liar (pungli) yang dianggap melanggar peraturan.
Sukatani menyoroti bagaimana korupsi telah meresap ke berbagai aspek layanan publik yang seharusnya bebas biaya atau terjangkau. Lagu ini berfungsi sebagai kritik sosial terhadap penyalahgunaan wewenang dan mengajak pendengar untuk menyadari serta menentang praktik korupsi tersebut.
A. Apa Itu Kebebasan Berekspresi?
Hak asasi manusia yang memberikan individu kebebasan untuk menyampaikan pendapat, ide, informasi, dan perasaan tanpa adanya tekanan, ancaman, atau pembatasan dari pihak lain, termasuk pemerintah. Kebebasan ini mencakup: Kebebasan berbicara, menulis, berkumpul, dan menggunakan media massa.
B. Teori Hukum dan Dasar Hukum tentang Kebebasan Berekspresi
Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin secara universal. Dalam teori hukum, kebebasan berekspresi menjadi pilar utama demokrasi karena memungkinkan masyarakat menyampaikan Pendapat, kritik terhadap pemerintah dan institusi publik. Serta didalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Pasal 19 bahwa setiap individu memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya tanpa gangguan serta berhak mencari, menerima, dan menyebarkan informasi melalui media apa pun. Konstitusi Indonesia juga menjamin kebebasan berekspresi dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, yang memberikan hak bagi setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi demi mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Di Indonesia, kebebasan berekspresi juga dilindungi oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dalam perspektif hukum dan HAM, karya seni merupakan salah satu bentuk ekspresi yang dijamin oleh kedua undang-undang tersebut. Seni tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai sarana kritik sosial yang mencerminkan suara masyarakat terhadap berbagai persoalan, termasuk kebijakan pemerintah dan penyalahgunaan wewenang.
Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Ini berarti bahwa seniman berhak menciptakan karya yang mengandung pesan sosial tanpa takut akan represi atau sensor yang tidak berdasar. Selain itu, Pasal 23 dalam undang-undang yang sama menegaskan bahwa setiap orang bebas untuk memiliki, mengungkapkan, dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya, termasuk melalui seni dan budaya.
Kesimpulan/Solusi
Menyoroti persoalan penting mengenai kebebasan berekspresi dan batasan yang diberikan oleh negara terhadap kritik sosial. Hak ini memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan gagasan tanpa takut mengalami represi. Namun, kebebasan berekspresi bukanlah hak yang absolut. Dalam negara, kebebasan ini harus dihormati dengan tetap memperhatikan batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum, seperti menjaga ketertiban umum, melindungi hak orang lain, serta menghindari penyebaran fitnah dan ujaran kebencian.
Oleh karena itu, dalam mengekspresikan pendapat, setiap individu harus memahami bahwa kebebasan yang dimiliki tidak boleh melanggar hak orang lain atau membahayakan kepentingan publik. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pembatasan yang dilakukan tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik yang sah dan konstruktif.
Sumber Referensi:
Wintaraman, R. H. P. (2016). Kebebasan Berekspresi di Indonesia: Hukum, Dinamika, Masalah, dan Tantangannya, ELSAM.
Kumorotomo, W. (2025, 3 Maret). Soal Polemik Lagu Band Sukatani, Pakar UGM Sebut Institusi Kepolisian Belum Siap Terima Kritik Publik. Universitas Gadjah Mada.
Pramudito, R. A. S. (2020). Kebebasan berekspresi dalam perspektif hak asasi manusia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 50(1), 1-15.
Rahman, A. S. (2021). Perlindungan hukum terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 12(2), 45-60.